BENANG KUSUT

BENANG KUSUT


Di dunia ini ada dua beberapa tipe pecinta, pertama orang yang sangat mudah jatuh cinta. Kadang ia sendiri tak mengerti apakah dia benar mencinta atau hanya membutuhkannya. Kedua, orang yang mencintai hanya karena kebutuhan sex semata. Berpindah hati setelah mendapatkan yang ia mau, tanpa perasaan bersalah kembali dengan bualan-bualan untuk memuaskan nafsu birahinya. Ketiga, orang yang mencintai karena hati, agama dan kewajiban menyempurnakan apa yang sudah ditakdirkan Tuhan yaitu saling berpasang-pasangan. Pria dan wanita. Keempat, orang yang mencintai namun mengikuti naluri hati, siapa bilang cinta dapat di ukur logika. Ini masalah hati, apapun cap-nya homoseksual, lesbian, banci, gay, biseksual, dan apapun cacian masyarakat. Inilah cinta yang mereka yakini (titik). Dan yang terakhir tipe pecinta yang tidak bisa merasakan cinta.

Mereka yang tidak terlalu perduli dengan ‘cinta’ kadang harus terpaksa diasingkan atau terasing. Lingkungan kadang menganggap mereka lesbian, gay, homoseksual, biseksual, lemah syahwat, mandul dan hal-hal yang tak perlu aku jelaskan disini.

Aku sudah biasa dengan label yang mereka berikan, apapun itu aku tidak akan peduli! Tapi, ternyata tidak dengan kelurga ku. Mereka jauh lebih sensitif dari pada aku sendiri yang meneri label masyarakat itu. Mereka mengkritik, bertanya, dan merasa terganggu tapi aku baik-baik saja apa itu tidak cukup untuk kalian.

Orang-orang seperti kami sering disalah artikan. Terbukti beberapa ilmuan dunia pun banyak yang tidak menikah, ada yang berpendapat bahwa mereka sudah terlalu mencintai ilmu pengetahuan, hidup dan matinya untuk ilmu pengetahuan. Bagi mereka, istri dan anaknya adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Bukankah, logika tentang ‘cinta’ itu sendiri belum ditemukan hingga saat ini. Mereka hanya berpendapat bahwa cinta berasal dari hormon yang ada di dalam otak yang bekerja mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh seperti terkena serangan jangtung ringan. Tapi, tak ada yang menjelaskan mengapa cinta bisa membuat seseorang berbuat gila, bunuh diri dan sebagainya. Tak ada yang menjelaskan bahwa perasaan itu disebut cinta.

Begitu pun dengan ku, aku memilih untuk tidak jatuh cinta atau pun merasakan cinta apa itu harus memiliki sebuah alasan. Haruskah semua dilogikakan padahal tidak semua didunia ini dapat diartikan dengan logika itu sendiri, bukan?!

“kau memilih untuk mengunci hati mu sendiri. Itu pilihanmu.”

“kau tidak bisa hidup sendiri terus seperti ini, kau harus merasakan cinta. Berbahagia, pacaran, menikah, kemudian memiliki anak. Tidakkah kau lihat hidup normal itu menyenangkan.”

“jika kita memiliki pasangan, ada yang memperhatikan, menyayangi, bahagia, melindungi, memberikan kita kejutan dan hal-hal tak terduga lainnya bisa terjadi. maka dari itu, bukalah hatimu.”

“kapan menikah? Pernah jatuh cinta? Pacaran?”

Semua kata-kata itu telah aku dengar begitu banyak, bahkan dari hatiku sendiri. Tapi, itu tidak mudah. Aku adalah orang yang berlogika dan berpikir realistis. Mempertimbangkan segala hal, walau aku manusia yang biasa-biasa saja tapi aku rasa pikiranku tak akan ada yang dapat mengerti. Orang sepertiku, aku tak berharap banyak pada orang-orang disekitarku. Kadang aku memilih menyendiri, mencari apa yang ku butuhkan seorang diri. Sesekali aku merenung bagaimana kelak saat aku menua atau bagaimana kelak saat orang tuaku telah terlalu tua. Aku.. hanya bisa memandangi detik jam yang melaju hingga aku sadari secepatnya bahwa waktu ku telah terbuang begitu banyak.

Bahkan saat menuliskan cerita ini pun, aku sadar akan sesuatu. Aku melewati masa mudaku dengan memikirkan hal-hal yang memang wajib ku lakukan dan ku laksanakan. Seperti seorang prajurit yang diberikan misi untuk melaksanakan perintah dan memegang teguh visi seorang prajurit sejati. Dan meninggalkan masa muda ku dibelakang dengan hanya melihat setiap tugas yang ternyata tak satu pun aku selesaikan dengan benar.

Dapatkah diantara kalian menjelaskan padaku, aku ini sebenarnya apa? Apa yang harus ku lakukan sesungguhnya?

Saat aku mulai tumbuh, yang ku tau aku hanya harus bermain, belajar dan mematuhi detiap aturan baik itu disekolah, rumah dan agama. Saat aku dewasa aku mulai menerima begitu banyak tugas dan tanggung jawab, mulai dari kuliah, membiayai hidupku dan meringankan tugas-tugas orang tuaku. Saat kuliahku selesai aku berpikir untuk membahagiakan orang tuaku dan bekerja lebih giat, tapi. Aku merasa ada yang hilang dari diriku, rasanya sebagian perangkat hardware dan software ku lambat laun mulai menghilang sedikit demi sedikit. Hingga yang aku sadari beberapa hal. Bukankah tugas setiap ciptaan Tuhan adalah, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Kita diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, untuk mendapatkan Surga atau Neraka. Dan yang menyadarkan ku, bahwa sebenarnya kita hanya menunggu kematian yang entah kapan menjemput kita.

Kematian yang kita tunggu saat ini. Itulah yang membuatku banyak berpikir panjang, lama dan banyak akan hal yang tidak ku mengerti dan aku sesalkan dan kesalkan. Namun, aku tak bisa memahami semuanya. Terkadang aku tak bisa tidur hingga larut malam, hanya karena memikirkan mengapa orang-orang yang berharga dalam hidupku Ia mematikannya. Dulu, aku bisa menangi secara tiba-tiba terbangun dari tidurku karena takut ayah dan ibuku meninggal. Tapi, saat aku beranjak dewasa. Aku bahkan tidak merasakan takut akan kematian itu sendiri, karena malaikat akan melaksanakan tugasnya secara baik tanpa perlu aku repot-repot mencari racun, gantung diri, atau pun terjun dari jembatan. Saat ini yang kadang membuatku menangis adalah kenangan itu sendiri, kenangan dari masa lalu yang kadang muncul tiba-tiba saat hati atau perasaan kita sedang tidak baik, atau hormon kita sedang tidak seimbang. Namun, seperti obat yang diberikan seorang dokter. Waktu adalah obat itu sendiri dari sakitnya sebuah kenangan. Perlahan tapi pasti, kita mulai melupakan kenangan-kenangan yang menyakitkan. Kita belajar untuk menjadi sosok pribadi yang semakin kuat, berpengalaman, tangguh dan berlapang dada. Walaupun begitu, kita pun harus menerima efek samping dari pengobatan waktu. Ternyata, hal-hal dan kenangan yang menyenangkan dan berharga pun kian memudar dan lambat laun menghilang dari ingatan kita yang semakin kuat untuk melanjutkan kehidupan.

Begitupun dengan penyesalan cinta, terluka saat putus, penghianatan, dan semua luka karena perasaan cinta tersebut. Semua luka akan sembuh, walau pun akhirnya berbekas tapi membuat kita semakin tangguh. Kenangan indah dan berharga mungkin menghilang perlahan, tapi juga akan selalu berbekas dan dapat kita ingat manisnya saat semua terjadi saat kita berbagi cerita.

Aku yang mulai tidak membutuhkan cinta bukan berarti tidak pernah merasakan cinta. Aku pernah mengalaminya, cinta yang bersemi saat aku umur 11 tahun ketika kelas enam sekolah dasar. Menyukai seorang anak laki-laki yang ternyata adalah sepupu sendiri kadang adalah sebuah keindahan namun juga penderitaan. Tak bisa mengatakannya dan hanya betepuk sebelah tangan, melihatnya menyukai anak gadis lain dan bahagia dengan cinta monyet ini itu sudah cukup.

Ayah selalu menasehatiku untuk tidak jatuh cinta karena usiaku yang masih muda. Aku adalah tipe anak penurut, walau terkadang aku bisa sangat pemarah, tidak sabaran, dan pemberontak. Tapi, aku tidak bisa menolak setiap kalimat baik untuk hidupku.

Saat masuk sekolah menengah pertama, karena kata-kata ayah aku hanya berpikir tentang teman, belajar dan hobi ku. Saat itu aku termasuk anak yang bisa bergaul dengan siapapun baik itu anak perempuan atau laki-laki, anak nakal atau pun baik. Aku memiliki seorang teman yang hidup dengan neneknya, aku tipe orang yang suka kebersihan dan kerapihan, melihatnya yang berantakan membuatku tidak terlalu suka dengan cara hidupnya. Aku mulai berbagi cerita dan menyuruhnya untuk hidup lebih baik, tapi teman-teman mingira aku menyukanya. Saat itu aku benar-benar tidak peduli apapun kata mereka, hingga suatu hari seorang teman sekelas ku menyatakan perasaanya padaku. Ku katakan saja padanya apa yang selalu ayah nasehati padaku, tidak boleh pacaran. Itu membuatnya kecewa dan malu. Aku benar-benar tidak bermaksud melukai perasaanya, saat itu mungkin ia sangat malu dan marah. Aku sangat menyesal kini, maafkan aku teman. Kau salah satu temanku dan aku tak mau manyakiti mu, sungguh.

Saat bangku sekolah atas, ayahku mulai sakit-sakitan. Pikiranku mulai kacau, tapi aku adalah orang yang tak akan mudah kalah dengan bujukan setan. Aku memiliki prinsip harus bisa mendewasakan diri. Walau ayah kerja di kota yang jauh dan ibu terkadang harus pergi kesana untuk mengurus ayah tapi akan ku tunjukkan pada ayah dan ibu bahwa aku bisa mengurusi diriku sendiri dan adikku. Kini pikiranku hanya tertuju bagaimana, aku belajar hidup disiplin, menjaga kehormatan ayah dan ibu, melindungi adiku. Belajar untuk menjadi anak yang baik dan berprestasi, walau ternyata aku hanya menduduki peringkat ke lima setiap tahunnya itu tak apa.

Aku tau, tak mudah tidak mencintai pada saat kau berada di usia remaja. Aku sempat menyukai seseorang. Anak yang jahil, cerewet, temanku sekaligus musuhku juga. Aku membuatkan komik tentang kami, walau sebenarnya aku ingin ia tau aku membuatnya untuknya tapi, tidak. Aku tak bisa merusak persahabatan kami hanya karena ego ku. Ku putuskan untuk menyimpannya, dan membiarkannya menyukai gadis lain yang lebih baik. Ku paksakan hatiku menyukai orang lain, dia anak yang pintar dan berprestasi tapi karena itu aku tau aku tak layak untuknya. Kembali cintaku bertepuk sebelah tangan, lalu mencari cinta yang lain tapi ini hanya bohongan agar teman-temanku tak banyak mengejekku karena aku tak pernah pacaran. Baru kini aku sadari, aku benar-benar bertindak bodoh dan membuatmu berada di sampingku untuk mencari tahu aku orang yang seperti apa, namun kita sama-sama pemalu yang tak mau mengungkapkan perasaan. Untukku tak mengungkapkan karena aku tidak bisa membohongi seseorang untuk perasaan palsu, untuk mu aku tak tau apa ku benar-benar pemalu atau kau ragu-ragu. Aku benar-benar minta maaf untuk perasaan cinta palsu ini.

Aku memutuskan untuk berhenti berlari mengejar yang tak perlu, hingga aku bertemu dengan seseorang. Seorang teman satu hobi yang sama, saat kita di bangku sekolah menengah atas kelas dua adalah keajaiban yang berlangsung hingga kita berteman selama delapan tahun ini. Kau yang begitu tomboy hingga anak-anak bilang kau keren, dan yang lain memberimu label lesbian, apapun sebutan mereka kita yang sama-sama tahu apa yang kita sukai menganggap tak perlu diperdebatkan. Hingga saat kita lulus sekolah menengah atas, kita tahu perasaan kita masing-masing. Aku yang seorang pengecut melarikan diri dari setiap masalah dengan selalu mengeluh dan mencacimu, terkadang kau marah tapi kau tau aku orang yang absurd dan labil terbiasa dengan hinaan ku. Walau aku tau kau pasti terluka dan sangat marah padaku bahkan membenciku tapi selalu kembali padamu seperti seekor kucing yang mencari tuannya. Kita berbagi banyak hal tentang dunia ini, tapi tidak pernah berbagi perasaan terdalam kita masing-masing dan biarlah itu tetap menjadi misteri untuk kita bersama Tuhan. Hingga suatu hari saat kita membahas tentang pernikahan dan anak, aku yang selalu berprinsip logis ini terpatri akan kata-katamu bahwa...

“untuk apa menikah jika masih ada anak-anak terlantar diluar sana, di tempat yatim piatu yang sebenarnya masih membutuhkan orang tua asuh. Aku ingin jadi orang tua asuh bagi mereka, gak usah menikah kan bisa punya anak.”

Aku tidak mengerti haruskah aku bangga padamu karena pikiranmu yang selalu lebih dewasa dan bijaksana dariku atau karena keputusanmu atau karena kau selalu memiliki pikiran yang bebas tanpa ikatan akan orang lain karena masa lalu mu. Sejujurnya aku baru sadar akhir-akhir ini, sebenarnya aku tidak benar-benar mengenalmu. Tidak benar tahu akan kisah hidupmu yang sebenarnya kalau bukan sahabat kita mis. D* yang menceritakannya padaku karena aku mengoreknya. Aku tidak benar-benar mengenalmu, warna apa yang kau suka, makanan apa yang kau suka dan kau benci, luka apa yang kau sembunyikan, bagaimana masa sekolah mu dulu, atau seperti apa ayah dan ibu mu, bagaimana adikmu dan siapa saja saudaramu dan siapa saja teman terbaikmu. Sejujurnya aku benar-benar merasa tidak layak menjadi temanmu, karena untuk hal-hal sepele atau pun masalah berat sekali pun kau tak pernah memberi tahukan ku. Kau yang selalu bertanya bagaimana kabar mis. D*, dan teman-teman lain tapi tak pernah bertanya bagaimana kabar ku jika bukan aku duluan yang mengirim pesan padamu. Aku mulai merasa, bahkan untuk mencintai seseorang sesama jenis pun aku merasa tak bisa dan tak layak. Bagaimana bisa aku berharap mengenal sang ‘cinta’?! Aku... mulai sedikit lelah pula dengan diri ku yang kadang selalu pesimis hanya gara-gara hal-hal sepele. Mungkin aku kuat untuk tak menangis, tapi aku tidak bisa bertahan karena pikiran pesimis yang terwariskan ini, entah dari siapa asalnya aku tak peduli tapi ini sudah keterlaluan.

Hidup sebagai seseorang yang dicap sebagai manusia berpendidikan hanya gara-gara lulus sebagai sarjana pendidikan kadang membuat frustasi untukku. Mereka masyarakat yang entah bagaimana melihat dunia selalu berpikir bahwa orang-orang berpendidikan tidak boleh cacat dalam sikap, kami bukan dewa, bukan malaikat, bukan Tuhan. Jika kami marah, itu karena sikap manusiawi kami yang sama seperti kalian. Kenapa kami selalu dihukum karena kesalahan orang lain.

Kami tak berpikir apa yang selalu kalian tanamkan dalam benak kalian bahwa “seorang guru selalu benar dan murid selalu salah.” Tidak! Jika kami marah itu karena ada sesuatu sebab akibat yang memang terjadi dan harus diselesaikan. Namun, kenyataannya selalu kami yang harus mendapat akibatnya.

Setelah lulus dari perguruan tinggi, aku bekerja sebagai seorang guru. Jujur saja aku tidak terlalu suka dengan bidang ini, karena aku harus mengajarkan ilmu pada banyak orang padahal aku sendiri masih harus banyak hal tentang ilmu yang aku kuasai dan juga semua ilmu yang ada didunia ini. Aku tidak terlalu suka banyak bicara dengan banyak orang terlalu lama sebenarnya, aku lebih suka berada di satu tempat melakukan apa yang bisa ku lakukan tanpa menyakiti siapapun. Aku benci bersuara keras, berteriak teriak. Aku benci saat aku marah karena seseorang tidak melakukan hal yang benar untuk kehidupannya sendiri, aku tidak suka dengan perintah yang bernada merendahkan, aku tidak suka dengan orang-orang yang menyombongkan diri apa lagi dengan membawa nama orang tua mereka. Coba saja jika mereka benar-benar berawal dari zero, tanpa orang tua yang berpendidikan atau tau apa yang harus dilakukan. Mungkin aku akan berpikir berbeda. Aku tidak terlalu suka dengan dunia yang terlalu banyak aturan yang tidak jelas dan mengada-ada tanpa pertimbangan dan hanya uji coba, aku benar-benar tidak suka dengan semua ego yang merasa diri sendiri benar tanpa pertimbangan yang masak dan tanpa introspeksi diri terlebih dahulu. Aku benci dengan para tukang bohong yang cari muka, aku benci dengan orang yang tidak melihat pekerjaan seseorang sesuai dengan kenyataannya dan hanya mengandalkan data yang tak bisa membaca perasaan manusianya. Dan aku benci dengan sikap kepura-puraan merasa kehilangan, simpati basa basi, aku mulai muak dengan hal-hal yang semakin tidak jelas dimataku, hatiku dan pikiranku. Aku benar-benar lelah karus memahami perasaan manusiawi ku sebagai manusia. Kenapa Tuhan menunjukkan ini semua pada ku? Bukankah selama ini aku selalu berusaha berada di jalan terbaikmu walau kadang aku berbelok dan membengkokkannya tapi aku tetap berusaha, kan?
 

Bisakah jelaskan padaku ‘cinta Mu’ yang sesungguhnya?! Karena Tuhan, jujur saja aku tidak mengerti tentang ini semua Tuhan. Aku mulai lelah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen 1500 kata #1

Who am I ? #4.1

Si Rubah Hitam dan Si Rubah Putih