Cerpen 1500 kata #1
Tema : Kisah Di Sekolah
Gebre : Fiksi-teenlit
TARIAN
KEJUJURAN
Hari
ini, kemarin, atau besok. Langkahnya akan tetap sama. Rumah-sekolah-kelas
kosong.
Tepatnya ketika
matahari masih mengintip di Timur bumi sana. 06.30 pagi ketika burung-burung
piaraan tetangga bernyanyi kepalang riang menyapa gadis dengan kucir cepol
berseragam putih abu berjaket jersey
belelnya keluar dari dalam rumah mereka: berlantai papan, berdinding anyaman
bambu, beratap lempung merah.
Tidak
ada keluhan yang keluar dari dalam hatinya. Sudah terlalu terbiasa dengan
keadaan. Mungkin inilah yang dimanakan ‘penerimaan’.
Gadis
berkulit sawo matang itu mengecup lembut punggung tangan biyungnya. Ayahnya
telah lama tiada sejak dia masih berada di bangku sekolah dasar. Hatinya telah
lama kuat. Tepatnya menguatkan hati remajanya yang harusnya mengeluhkan ini dan
itu, menceritakan tentang kisah cintanya, atau mungkin hangout bersama teman-teman seumurannya.
Tapi
tidak dengannya. Ia telah mantap dengan apa pun keputusan Tuhan yang mengatur
jalan hidupnya. Langkahnya cepat, bukan tergesa-gesa karena takut dihukum telat
masuk gerbang sekolah. Namun ia teramat riang, hingga rasanya ingin berlari
saja. tapi pikiran itu segera diurungkannya. Ia harus menghemat energi paginya
karena pasti, nanti siang ia akan merasa lapar.
Tak
ada uang saku. Untuk sarapan saja ia harus berbagi dengan lima orang anggota
keluarganya yang lain; pamannya yang pekerja serabutan, bibinya yang menderita skizofernia, ibunya yang telah berusia
60 tahun, adiknya yang duduk di bangku sekolah dasar kelas enam dan ia sendiri.
Namun,
adakah kecemasan kesedihan dalam raut wajahnya? ada. Tentu saja ada. Terkadang
rendah diri menyelimuti hati gadis remajanya. Tetapi dia sudah bertekat. Tidak ada yang bisa merenggut kebahagiaan di
hatinya. Maka ia menerimanya. Merengkuh semua ketidak sempurnan itu dengan
lapang dada. Merendahkan hati, bukan merendahkan diri.
Berada
dalam sebuah ruangan yang luas di lantai dua kelas di sekolahnya. Bersiap
dengan caping sebagai salah satu
properti untuknya menari. Berlatih untuk festival besar kota kelahirannya,
Garut. Bersama dengan ke empat puluh siswa siswi lainnya memulai pemanasan.
Lima menit kemudian mulai berlatih.
Latihan
bergiliran. Dimulai dari para penari kipas, penari merak, barulah tiba
gilirannya. Para penari caping yang
dibagi menjadi dua tim. Masing-masing beranggotakan lima orang. Masuk dari dua
sudut berbeda. Saling bersilangan; berputar membentuk formasi dengan memainkan caping mereka. Sementara para pemain
umbul-umbul berbendera berlatih di area terbuka.
Gadis
manis itu memiliki impian. Sederhan. Terbebas layaknya burung gereja yang sering ia ajak bicara di
atas pohon cemara tepat disamping gedung berlantai dua mereka latihan. Gadis
itu akan menunggu jam istrirahat latihan dengan mengobrol atau melihat-lihat
pemandangan sekitaran sekolahnya. Lapangan basket-ruang labolatorium-ruangan
kelas yang sibuk.
Setidaknya dia bersukur
kembali kali ini. Dispensasi membuat
dia tidak harus bertemu dengan mata pelajaran yang kadang membuatnya harus
termangut-mangut mengartikan rumus-rumus aljabar.
Ketika mereka harus
berlatih pada jam sore, beberapa anak-anak riuh renyah bergosip dengan wajah
kaget dan serius. Hingga sampailah cerita itu di kupingnya, anak-anak sedang
mengintip sesuatu di kelas sepuluh lantai satu tepat di bawah gedung mereka
berlatih. Dua sejoli yang sedang melakukan hal di luar pikir mereka saat ini.
Beberapa riuh rendah
berbisik dengan mengintip. Beberapa menyarankan untuk menghentikannya dan
melaporkannya. Gadis bercepol itu mengangguk setuju dan menanyakan masih adakah
guru yang piket di kantor guru.
Nampaknya keributan
berdesir itu di sadari oleh dua sejoli tadi yang akhirnya memutuskan diri untuk
segera pergi meninggalkan TKP. Beberapa anak ingin mencegah mereka kabur namun
tidak berani bertindak, sementara gadis bercepol dan beberapa anak telah sampai
di ruangan Bimbingan Konseling. Menceritakan apa yang mereka lihat. Ketika sang
guru setuju, ruangan telah kosong.
Anak-anak mencari
pelaku. Beberapa berbisik tepat saat seseorang yang disangka sebagai salah satu
pelaku berpapasan dengan gadis bercepol tadi. “Itu dia. Namanya Delima, anak
Pramuka.” Ucap seseorang berbisik pada kami yang termenung sesaat menatap
kepergiannya yang terlihat terburu-buru. Gadis bercepol tadi hanya menatap
kosong. Haruskah ia mengiba, atau mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi.
Nampaknya tidak, ia hanya mencoba bijak sebagaimana manusia pada umumnya. Jikapun salah. Bukan haknya untuk menghakimi.
Hanya perlu melaporkan. Selebihnya, biarlah mereka yang lebih berhak
memutuskannya.
Sayangnya, esok hari
ketika kami harus berlatih di lapangan kantor Dinas Pariwisata sesuatu
nampaknya tengah terjadi di kelas gadis bercepol tadi. Anak-anak Pramuka
bersigap menyelidik menanyakan namanya, menuntut sebuah penjelasan. Ketika ia
kembali ke kelas esok harinya berita itu sampai ke telinganya. Ia hanya
tersenyum, mengangguk mengerti. Fitnah
itu lebih kejam dari pembunuhan. Baik aku yang tengah di fitnah atau ‘dia’ si
pelaku yang sedang merasa difitnah dan terancam.
Tak pernah menduga
sebelumnya bahwa ia akan di jadikan kambing hitam dalam permasalah yang tak
pernah ia duga. Menjadi pelapor, saksi, dan tertuduh sekaligus. Introgasi
terjadi di ruangan BP. Siapa saja yang melihatnya; siapa yang kenal pelakunya;
nama dan identitas lengkap pelaku. Hingga membucu pada satu kesimpulan yang
sungguh, andai ia boleh tertawa dan menghina. Ini sangat menyebalkan. “Kami
harap, tak ada seorangpun yang membocorkannya ke luar sekolah. Ini aib, dan
kita harus menjaga nama baik sekolah.”
Lelah. Benarkah berbohong untuk sebuah kebaikan
akan membuahkan kebaikan? Bukankah sekali berbohong. Akan muncul
kebohongan-kebohongan lainnya.
Belum sempat pertanyaan
itu terjawab, si gadis cepol harus mengalami introgasi kedua ketika mereka
berada di lapangan alun-alun besar kota sebagai tempat gladi bersih untuk
festival esok hari.
“Kak, saya gak nyangka.
Ternyata kakak yang fitnah Delima, ya.” Adik kelas menyela waktu istirahat
ketika gadis bercepol tadi sedang mengobrol.
“Fitnah apa?”
“Kakak-kan yang bilang
bahwa, Delima dan Arman yang jadi pelaku kemarin.” Gadis berkerudung itu mulai
ngotot dengan tuduhannya.
“De..., yang lihat itu
bukan saya. Yang tau nama Delima juga bukan saya. Yang laporin ke BP juga bukan
hanya saya saja. Sekarang, saya yang di jadikan kambing hitamnya. Enak amat,
mereka yang ngelakuin saya yang harus bertanggung jawab.” Nada gadis bercepol itu
kini sedikit meninggi. Ingin rasanya ia menghajar siapapun di dekatnya. Terlalu
kejam untuk menuduhnya sebagai ‘tersangka utama’.
“Gini ya, jika adek
Delima tidak merasa melakukan, silahkan tantang saja para guru itu. Jika mereka
mengharuskan uji tes urin. Maka lakukan saja, toh’ adek gak melakukannya. Kalau
merasa benar gak usah takut. Simpel, kan?!”
Kami akhiri percakapan
tadi dengan kesepakatan, bahwa ia setuju dengan saran gadis bercepol tadi. Jika
segala hal tersurat mudah dipalsukan ataupun dikelabui. Ada hal-hal yang tak
akan pernah bisa kita tutupi. Penglihatan dan kebenaran di sisi Tuhan.
Esok harinya ketika
acara pembukaan festival Garut siap dilaksanakan ada hal-hal yang pasti tidak
akan pernah kita sadari. Kesedihan yang mengiringinya, cerita dari para penari,
perjuangan untuk menunjukkan kebenaran dalam diri.
Bagi mereka yang duduk di bangku sekolah
sekarang. Apakah pendidikan berupa yang tertulis selalu lebih penting dan
bernilai dari pada mengajarkan sebuah pendidikan budi pekerti. Menghormati yang
lebih tua, menyayangi yang lebih muda. Kejujuran, membela yang memang layak
dibela.
Gamelan telah dipukul
beriringan berirama, gendang-gendang telah bertalu-talu bersautan. Musik
pengiring baik moderen ataupun tradisional telah mengalun keras
sekeras-kerasnya. Menggiring para penari satu persatu masuk dari berbagai
sudut. Mungkin, yang paling jujur dari semua kebohongan ini adalah tarian
mereka sendiri.
Para penonton yang
menyaksikan anak-anak remaja itu menari, tak pernah menyadari ada beberapa
cerita yang mendampingi para penari. Mungkin saja, bukan hanya gadis bercepol
tadi. Ada kisah cinta yang terjadi diantara sesama penari. Kisah persahabatan
yang semakin erat. Kejujuran yang diuji, atau mungkin pelajaran hidup itu
sendiri.
Festival besar telah
digelar, tarian telah ditampilkan. Tepuk tangan telah riuh bersahutan
menandakan pertunjukan selesai. Penghargaan diiringkan pada mereka mojang dan
jajaka kota intan yang terpilih. Maka pertunjukkan telah berakhir, kini para
penari harus kembali pada jam hidup mereka semula sebagai pelajar.
Kehidupan kembali ke
semula. Rumah-sekolah-kelas. Berkutat kembali dengan rumus-rumus aljabar,
aritmatika, bahasa, sejarah, dan geografi. Namun, ada yang tidak akan berubah
bagi gadis bercepol tadi. Berbincang bersama alam, telah menjadi bagian dari
kesehariannya.
“Permisi, hai...”
seorang pemuda menyapanya ketika gadis bercepol berada di tempat ia biasanya
berdiam diri.
Ia menatapnya terkejut.
Tak pernah terbayang di benaknya untuk bertemu dengan seseorang di jam setelah
sekolah bubar seperti ini. “Ada yang bisa aku bantu?”
Pemuda tinggi berkulit
hitam terbakar matahari itu tersenyum. Canggum kemudian menghampirinya. Sudah
sejak lama ia menatap gadis ini dari bawah sana, lapangan basket. Beberapa kali
ia harus terkena hukuman karena tidak konsentrasi dengan alur permainan dan
latihan mereka. Dalam pikirannya selalu berdengung pertanyaan, siapa gadis di atas sana?
Lama kelamaan
pertanyaan itu menghinggapi hatinya. Ada perasaan aneh yang merasuk menjadi
sebuah rasa yang aneh. Selalu tidak bosan jika ia menatapnya. Selalu pada jam
yang sama, jam sebelum masuk kelas dan jam pulang sekolah. Menebus rasa
penasarannya, ia mulai menjawab satu persatu pertanyaan dalam dirinya.
Salsabilah Putri, 3 IPA
3, anak ekskul paduan suara, saat ini sedang latihan ikut untuk festival gebyar
ulang tahun Garut. Setelah ia mendapat jawabannya, Rafha semakin senang menatap
wajah Salsa saat ia latihan basket. Finalnya ketika ia sengaja membolos dari
sekolah, hanya untuk melihat Salsa menari.
Diantara kumpulan
penonton ia mencoba mencari dengan bersusah payah wajah yang ia kenal itu,
namun baginya hampir sama. Wajah menggunakan make up itu mengganggunya. Hingga ia sadar salah satu dari penari caping; berkebaya biru dengan cepol
khasnya yang walau kini lebih rapih. Salsabilah!
Pemuda itu terpesona, pandangan mata dari gadis bercepol itu tak pernah
berubah. Sayu, sendu, namun tulus. Itu yang menjadi daya tarik bagi Rafha.
Di lantai dua, di teras
pelataran bangunan ruang menari, dua orang yang berbeda tengah bertemu dengan
dua pertanyaan yang menggelantung dibenak keduanya. Haruskah aku mengatakannya? Pikir si pemuda. Siapa orang ini? Pikir si gadis.
“Na-namaku Rafha. Muhammad
Rafha.. aku menyukaimu! Maukah kau jadi pacarku!?”
Langit senja selalu
membuat hati bertanya. Adakah malam yang berbintang, dimana kegelapan lebih
menjanjikan kebahagiaan bagi hati remaja yang kadang membingungkan. Adakah
matahari bersinar hangat menyambut langkah-langkah kaki yang mengejar
mimpi-mimpi yang kadang kita tak tahu bagaimana cerita yang membersamainya.
Mungkin lebih baik,
kita hanya cukup menerimanya. Tanpa perlu menduga-duga, toh masa muda hanya
dapat dilalui sesaat. Tidak akan terulang untuk kedua kali. Maka nikmatilah
masa muda menjadi generasi yang mumpuni agar kelak tak ada generasi yang lelah
berpijak di bumi.
-TAMAT-
Ini bebar tidak 1500 kata
BalasHapusApa ini benar 1500 kata
Hapus