Bernostalgia Dengan Pikiran #1
“GURU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA”.
(Titik)
Itulah
semboyan yang digandrungi hingga saat ini, tapi tidah semua orang berpikir
demikian. Mungkin. Khususnya aku.
Cita-cita
awal saat aku sekolah dasar adalah menjadi pegawai bank ini, saat aku kelas tiga. Tahun berganti, hobi dan wawasan
bertambah kelas empat aku ingin menjadi pelukis. Bagiku warna dan gambar adalah
perpaduan yang sangat luar biasa, itu yang ku pikir setiap hari selepas pulang
sekolah menunggu film kartun muncul di televisi. Aku adalah maniak film kartun,
untuk itu aku sering bertengkar dengan kakek karena beliau selalu menyuruhku
untuk mengganti chanel ke berita. (Jika dipikir sekarang aku sangat berdosa
pada Almarhum, I’m sorry grandpa).
Naik
kelas bukan insaf malah penyakit ku bertambah, cita-cita mulai berubah setelah
kenal dengan internet. Aku memutuskan untuk menjadi animator, tau kan pekerjaan membuat film kartun yang kebanyakan berasal
dari negara Jepang atau Amerika. Dulu hanya beberapa orang indonesia yang
berani mempertunjukkan hasil karya mereka itu pun hanya aku peroleh dari CD
bajakan yang sering aku beli. Ekonomi ku bukan termasuk kalangan atas jadi
harga adalah pilihan utama sebelum hobi. Dan yah’ mau bagaimana lagi, banyak
faktor yang menyebabkan karya-karya anak bangsa gak bisa maju di negara
sendiri, and well... peroleh barang
dengan harga serendah-rendahnya dengan kualitas setinggi-tingginya, jika kamu
mau hidup sampai akhir bulan.
Sampai
sekolah menengah pertama, hobi fight with
grandpa masih berlangsung. Niat
pertama ku adalah mencoba mengikuti berbagai pertandingan menggambar untuk
memperoleh skill sebagai pengarang
komik atau komikus. Sayangnya aku gak pernah menang, dan keterbatasan informasi
menjadi salah satu kemunduran semangat ku. Hidup dipinggiran kota kalau gak
pasang mata dan telinga, memiliki tali persaudaraan yang luas maka kamu gak
akan berkembang dan semua kesempatan tidak akan pernah datang.
Sejak
aku duduk dibangku sekolah dasar selain memiliki cita-cita sebagai komikus dan
animator, aku juga hobi membuat kegaduhan. Hidup sebagai anak perempuan kadang
membuat kau berpikir bagaimana rasanya menjadi laki-laki, apa lagi jika kau
memiliki saudara laki-laki satu satunya. Sifat tomboy atau kelaki-lakian ku muncul sejak aku duduk di kelas empat,
karena teman laki-laki ku selalu berbuat jail. Aku yang tidak suka dengan
kekerasan memilih membela anak perempuan yang sering mereka jaili, saat itulah
aku tau bagaimana cara berkelahi tentunya ala anak sekolah dasar. Sekali, dua
kali, sehari, seminggu, hingga aku naik kelas enam aku masih sering berkelahi.
Aku masih ingat dua anak laki yang sulit ku taklukan bernama Jajang dan Azwar.
(Manusia-manusia itu entah bagaimana kabar mereka).
Apa
tingkahku berubah setelah SMP? Ya, awalnya aku adalah manusia pendiam, kutu
buku and I think sosialisation it’s announce.
Aku tidak terlalu suka bersosialisasi, jadi selepas perkenalan dan keseharianku’
aku hanya pergi ke perpustakaan, kantin dan kelas. Begitu selama beberapa bulan
hingga satu anak perempuan memilih duduk sebangku dengan ku itu hal yang agak
mengganggu, tau sendirilah aku tidak terlalu suka bersosialisasi.
“Hai,
boleh kita duduk sebangku? Nama ku Evi Februari, panggil saja aku Evi”.
Apa
kalian pikir begini, ‘ah paling setelahnya seperti anak-anak biasa’. No. Justru sifat asli ku muncul setelah
kami menjadi teman sebangku, you know!
Aku mulai berkelahi lagi, tapi kali ini bukan dengan otot saja tapi dengan otak.
Teman-temanku yang curang dengan mensabotase data pribadi demi mendapat bantuan
anak miskin pada hal dia anak orang berada sudah pernah kami tindak. Bagaimana
bisa, Evi adalah anak dari orang yang cukup berpengaruh di sekolah kami. Dia
seperti mata-mata, mengamati, cari bukti, dan laporkan. Dia memiliki cukup
kekuasaan untuk hal ini, do you know-lah.
Saat naik kelas, bangku kami dipindahkan begitu saja, tentu saja kami mengamuk.
Bagi anak-anak bangun pagi dan berburu kursi baru di kelas baru adalah sakral, why? Karena ini untuk satu tahun sob!
Walau akhirnya wali kelas menyuruh kami untuk duduk secara bergiliran setiap
minggunya. (Not bad ide).
Apa
masalah yang kami timbulkan sudah selesai? Haha... sayangnya tidak. Jaman
sekolah adalah jaman membuat gank di
kalangan anak-anak yang mau disebut populer. Jika punya gank artinya keren, bisa terkenal, disegani dan... ditakuti
mungkin. Dan salah satunya ada di kelas kami, anak-anak gak jelas dengan nama
yang gak jelas. Gank yang dibuat
dengan tujuan gak jelas begini bernama BRINGAZ dan XTM. Saat itu dua nama gank ini sudah tenar dimasyarakat dan
sering membuat keonaran dengan mabuk-mabukan hingga menimbulkan korban yang
berdampak pada pembunuhan. Paling buruk terjadi di sekolah kami, tentu saja ini
berdampak bagi semua.
Anak-anak
lelaki di kelas kami ikut-ikutan sok-sok’an seperti mereka, tapi mereka tidak
tahu apa yang akan mereka hadapi setelah ini.
Hari
pertama, surat misterius di semester ke dua muncul. Pesan tersebut dibuat
dengan kata-kata tempelan koran-koran dan majalah. Aku tidak tau apa yang
terjadi, tapi setelahnya anak-anak itu marah.
Esok
harinya anak-anak itu mendapat kejutan dikursi mereka, katanya seseorang pasti
menjaili mereka dengan menempatkan jarum dikursi mereka. Uh.. that’s hurt! Suasana kelas menegang dan
memanas, setelah surat tantangan muncul. Namun setelah itu, entahlah tak ada
kabar.
Kejailan
demi kejailan terjadi, setelah kami naik kelas sembilan. Aku baru sadar setelah
kami berdua lulus dan masuk sekolah menengah atas. Aku tahu satu hal, aku
melakukan apa yang disuruh gadis itu tanpa berfikir panjang. Aku melakukan dosa
besar. Aku sangat menyesal, maafkan aku.
Kelas
sepuluh baru akan dimulai, kelas baru, teman baru, suasana baru. Semoga aku
juga menjadi manusia baru, ku pikir begitu. Hiruk pikuk anak-anak yang tidak
aku kenal, dan aroma seragam baru dan parfum-parfum mereka bertebaran di udara
pagi. Aku tidak terlalu suka ditengah-tengah keramaian yang tidak ku kenal,
hingga suatu suara mengusik ku.
“Hey,
ini Asna kan?”
Yang
aku pikirkan adalah, “siapa lo? Emang gue kenal?”. Hanya dalam otak ku yang
masih menebak-nebak.
“Oh
hai, siapa ya?”
“Wah
masa gak kenal, kamu sering ke kelas F kan buat ketemu Dini dan Sinta.”
“Oh iya iya, tapi... kamu
siapa?”...
Komentar
Posting Komentar